Bangga Akan Kebhinekaan
Radikalisme telah
menjadi trending topic saat ini.
Berita-berita di televisi, surat kabar, dan internet (termasuk media sosial)
sering mengangkat radikalisme sebagai topik utama. Radikalisme menjadi ancaman
bagi kebhinnekaan Bangsa Indonesia. Dalam berbagai konflik horizontal yang
terjadi di Indonesia, radikalisme seringkali menjadi faktor pemicu.
Radikalisme
sendiri berasal dari kata radikal, dalam Bahasa Inggris radical, dari Bahasa Latin radix
yang berarti akar. Menurut KBBI, radikalisme memiliki 3 arti. Arti pertama,
radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik. Kedua,
radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan
sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Dan yang ketiga,
radikalisme berarti sikap ekstrem dalam aliran politik. Dari ketiga arti diatas,
radikalisme berpotensi memicu konflik. Konflik dianggap sebagai sikap ekstrem
dalam aliran politik dan juga sebagai salah satu bentuk kekerasan untuk
mencapai tujuan golongan radikal tersebut. Tak jarang, golongan-golongan
radikal ini juga menggunakan teror untuk mencapai tujuan mereka. Jenis
radikalisme ini biasa disebut radikalisme terorisme.
Radikalisme
terorisme inilah yang tengah dilawan oleh bangsa Indonesia, seperti ucapan
Mendagri yang dilansir detik.com dalam kaitannya dengan peristiwa ledakan di
Kampung Melayu, 24 Mei 2017. Masih terkait peristiwa yang sama, Menkopolhukam
juga menyerukan hal serupa. Menurut berita yang dilansir detik.com, beliau
menyarankan untuk melakukan revisi UU Antiterorisme untuk menangkal hal-hal
yang mengarah ke radikalisme.
Radikalisme pada
umumnya berpusat pada satu golongan tertentu, baik radikalisme etnis, ras,
maupun agama. Sedangkan Indonesia adalah negara yang memiliki kebhinnekaan,
yaitu keragaman dan perbedaan etnis, ras, dan agama. Sayangnya, kebhinnekaan
ini kurang dianggap sebagai suatu hal yang patut dijaga oleh bangsa Indonesia
sendiri. Maka, diperlukan adanya semangat kebhinnekaan, atau lebih tepatnya
sebuah militansi kebhinnekaan, seperti pada salah satu artikel di laman
indonesiasatu.co. Militansi kebhinekaan dapat diartikan sebagai suatu sikap
bangga terhadap keragaman dan perbedaan untuk menghambat pengaruh radikalisme,
dan lebih jauh lagi, mengalahkannya. Militansi disini jelas berbeda dengan
fundamentalisme. Karena militansi berarti bersikap kritis dan berpegang teguh
pada suatu prinsip, dalam hal ini prinsip bahwa Indonesia adalah negara
yang beragam (bhinneka), dengan tetap menunjukkan sikap fleksibel dalam proses
mewujudkan prinsip tersebut. Fundamentalisme, di lain pihak, tidak memiliki
sikap fleksibel dan juga keterbukaan.
Bangsa Indonesia sangat beragam dan membuatnya indah |
Militansi kebhinnekaan
tidak selalu berupa sebuah aksi turun ke jalan. Militansi kebhinnekaan bisa
saja dimulai dari lingkungan terdekat. Dalam kehidupan sosial, banyak ditemukan
kejadian dimana seseorang merasa dikucilkan hanya karena perbedaan latar
belakang. Untuk mencegah kejadian-kejadian itu, diperlukan suatu pemahaman
bahwa selama seseorang berkewarganegaraan Indonesia, maka orang tersebut adalah
orang Indonesia, tanpa perlu melihat latar belakangnya. Militansi kebhinnekaan
juga dapat dicerminkan dalam hal menolong orang lain. Sangat disayangkan
apabila ada seorang dokter yang menolak menolong pasien hanya karena latar
belakang yang berbeda. Dengan adanya semangat kebhinnekaan, atau militansi
kebhinnekaan, diharapkan kejadian tersebut tidak akan terulang, dan dengan
demikian menciptakan suatu keadaan sosial dimana semua orang merasa memiliki
hak, kewajiban, dan kedudukan yang sama. Tidak ada lagi istilah masyarakat
kelas dua, atau bahkan masyarakat anak tiri.
Sayangnya, radikalisme
kerap lebih mudah dicerna anak-anak dan remaja. Anak-anak cenderung menerima
informasi yang disampaikan oleh orang yang lebih tua secara mentah tanpa dapat
mengkaji apakah informasi tersebut benar atau salah. Jika mereka terus menerus
‘dijejali’ oleh paham-paham yang mengarah kepada radikalisme tanpa adanya
kontrol orang tua, bahkan lebih ekstrem, pembiaran yang dilakukan orang tua,
anak-anak itu dapat tumbuh menjadi pemuda-pemuda yang radikal. Sama halnya
dengan remaja. Remaja pada umumnya masih labil, dan cenderung mencari jatidiri.
Apabila mereka diarahkan kearah radikalisme, terutama oleh orang-orang yang
mereka anggap benar, mereka akan sangat mudah mengadopsi paham tersebut. Tidak
sedikit pemuda yang bergabung dengan jaringan radikalisme teroris.
Ajaran-ajaran radikal juga sering disampaikan secara implisit dalam proses
belajar-mengajar. Oleh karena itu, peran orang tua dalam mengawal anak-anaknya
agar terhindar dari radikalisme sangatlah penting.
Dalam sebuah
artikel di laman consortiumnews.com, Alon Ben-Meir menyatakan bahwa
diskriminasi mampu menghasilkan sebuah radikalisme. Diskriminasi tersebut
berupa adanya marginalisasi secara ekonomi, sosial, maupun politik terhadap
salah satu golongan tertentu. Kelompok-kelompok radikal cenderung memanfaatkan
situasi ini dengan memposisikan dirinya sama dengan orang-orang yang mengalami
marginalisasi dan mau menjadi ‘tempat berlindung’ bagi mereka. Tetapi, kelompok
itu mengharuskan mereka menjadi bagian dari kelompok, dan dengan demikian
menyebarkan paham radikal.
Demi mencegah
radikalisme, pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang telah
diambil, termasuk mengkaji ulang beberapa peraturan yang cenderung
mengkotak-kotakkan masyarakat. Salah satu contohnya adalah Peraturan Menteri
Negara Agraria No.3 tahun 1997 yang membagi ahli waris menjadi 3 golongan,
yaitu WNI penduduk asli , WNI keturunan Tionghoa, dan WNI keturunan Timur Asing
lainnya. Masing-masing golongan memiliki aturan tersendiri, sehingga terkesan
adanya pengelompokkan warga negara. Sementara di sisi lain, keberhasilan
asimilasi yang terus berlangsung di Indonesia membuat istilah penduduk asli
menjadi absurd dan tidak lagi jelas. Pemerintah juga perlu menanamkan sikap
bangga terhadap kebhinnekaan bangsa dan terus menjaga posisi Pancasila sebagai
dasar negara Indonesia.
Mengapa Pancasila?
Apa karena pada Garuda Pancasila tertulis ‘Bhinneka Tunggal Ika’? Lebih dari
itu, Pancasila adalah suatu jaminan bahwa kebhinnekaan akan terus ada di Indonesia.
Sila kedua dan kelima dengan jelas menyatakan bahwa harus ada perlakuan adil
secara sosial dan kemanusiaan kepada seluruh rakyat Indonesia. Seluruh, bukan
hanya salah satu atau segelintir golongan tertentu. Selain sebagai penjamin,
Pancasila juga berfungsi sebagai pemersatu bangsa, melalui sila ketiganya. Dan
ada satu hal yang perlu diingat, bahwa bersatu bukan berarti seragam. Kita
dapat bersatu dengan tetap mempertahankan kebhinekaan Indonesia, karena
bhinneka itu kita.
Komentar
Posting Komentar