Kebhinnekaan Allah
Oleh: Deo Lumoindong
Allah sangat mengasihi manusia, sebagai ciptaan-Nya yang paling sempurna. Tercatat ada puluhan ayat dalam Kitab Suci yang menyatakan hal ini. Kasih Allah seringkali digambarkan begitu besar sampai Ia rela mengorbankan putra-Nya, Yesus Kristus, untuk menyelamatkan manusia (Yoh 3:16). Dalam Perjanjian Lama, sering ditemukan perbandingan antara Kasih Allah dengan kasih antara pasangan kekasih (Kidung Agung), dan juga antara ibu dan anak (Yes 49:15). Namun, ada satu hal yang tidak dijelaskan secara rinci dalam Kitab Suci, yaitu bagaimana sesuatu dapat dinyatakan sebagai suatu bentuk Kasih Allah pada manusia. Banyak orang yang terjebak dalam suatu pemikiran bahwa Kasih Allah hanya terbatas pada hal-hal rohani spiritual, dan tidak berupa hal yang berwujud atau bersifat duniawi.
Keabstrakan pemahaman akan Kasih Allah memicu beberapa pertanyaan. Allah siapakah yang lebih mengasihi manusia? Allah orang Katolikkah? Atau Allah dari orang-orang beragama lain? Sampai kini, tidak ada suatu penelitian yang mampu menjawab pertanyaan itu. Banyak ahli dan pemuka agama yang berspekulasi bahwa semua agama pada dasarnya menyembah satu Tuhan yang sama. Paus Fransiskus (2013), dalam sebuah wawancara dengan La Repubblica, menyatakan bahwa Tuhan bukan Katolik, tetapi Tuhan adalah universal. Agama yang berbeda muncul karena perbedaan cara manusia (yang terbatas) mengartikan Tuhan yang tidak terbatas (Gerung, 2013).
Konsep Allah atau Tuhan yang berbeda-beda itu memunculkan pemahaman berbeda tentang Tuhan. Gus Dur, ulama besar NU dan Presiden ke-4 RI pernah menyatakan suatu lelucon yang terkenal. Beliau mengatakan bahwa penganut agama Kristen (baik Katolik dan Protestan) sangat dekat dengan Allah karena memanggil Allah dengan sebutan ‘Bapa’. Penganut agama Hindu cukup dekat dengan Allah karena memanggil Allah dengan sebutan ‘Om’ (Gus Dur mengartikan Om sebagai paman). Sedangkan penganut agama Islam sangat jauh dengan Allah karena harus memanggil-Nya dengan pengeras suara masjid (Mahaputra, 2015). Keragaman pemahaman tentang Allah ini seringkali memicu perdebatan antar agama.
Menyadari adanya perbedaan konsep Allah dalam berbagai agama, Gereja Katolik membagi jenis dialog antar agama menjadi 4 (empat) jenis, yaitu; Dialog Iman, Dialog Karya, Dialog Kehidupan, dan Dialog Teologis. Dialog Iman dan Dialog Teologis adalah dialog-dialog yang berkaitan dengan kepercayaan masing-masing agama dan pengalaman terkait, sedangkan Dialog Karya dan Dialog Kehidupan merupakan dialog yang tidak menyentuh sistem kepercayaan dari suatu agama, tetapi lebih kearah kehidupan duniawi (Wongjomporn, 2015). Kedua dialog terakhir inilah yang dapat digunakan untuk menyatakan Kasih Allah dalam kebhinnekaan Indonesia.
Kerjasama antar umat beragama adalah tujuan Dialog Karya. Melalui kerjasama inilah dapat tercipta persatuan umat beragama tanpa bersinggungan dengan kepercayaan masing-masing. Kesatuan dalam perbedaan ini merupakan wujud Bhinneka Tunggal Ika dan sekaligus merupakan wujud Kasih Allah. Kasih Allah mampu mempersatukan perbedaan. Di sisi lain, perbedaan itu adalah Kasih Allah yang mewarnai kehidupan manusia. Selain itu, Kasih Allah juga dapat dinyatakan melalui hasil dari kerjasama antar umat beragama, yang diharapkan mampu mencerminkan kehadiran Allah dalam kehidupan manusia.
Dialog Kehidupan tidak jauh berbeda dengan Dialog Karya. Dalam Dialog Kehidupan, kita berusaha mengomunikasikan Kasih Allah, apapun wujudnya, melalui kehidupan sehari-hari. Dialog Kehidupan dicontohkan oleh Beato Charles de Foucauld (1858-1916), seorang misionaris Perancis yang ditugaskan di tengah suku Tuareg, Aljazair. Dia tidak hanya berkhotbah melalui kata-kata, tetapi melalui karya yang tidak ada hubungannya dengan Iman Katolik. Ia menulis kamus Tuareg-Perancis dan Perancis-Tuareg. Ia juga mempelajari tradisi suku Tuareg dan mau menjadi bagian dari mereka. Kemauan Beato Charles de Foucauld untuk menjadi bagian dari masyarakat Tuareg ini membuatnya diterima baik oleh masyarakat Tuareg, meskipun kemudian akhirnya ia dibunuh oleh gerombolan bandit yang juga berasal dari suku Tuareg. Cerita Beato Charles de Foucauld ini menjelaskan betapa banyaknya cara untuk menyatakan Kasih Allah, dan tidak harus melulu terfokus pada karya gerejawi.
Bertolak dari dua jenis dialog di atas, Kasih Allah mampu dinyatakan dalam kebhinnekaan melalui karya-karya yang terlihat ‘tidak religius’. Apabila kita berfokus pada hal-hal yang bersifat religius, seperti Dialog Iman dan Teologi, maka yang akan kita dapatkan hanya sebuah debat tanpa akhir yang menjurus ke arah uniformisme dan sinkretisme (Don Matteo, 2011). Dialog Karya dan Dialog Kehidupan merupakan cara menyatakan Kasih Allah dalam kebhinnekaan Indonesia. Kasih Allah merupakan suatu hal yang tidak terbatas, karena Allah adalah Kasih (1 Yoh 4:8) dan Allah tidak terbatas.
Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk menyatakan Kasih Allah dalam kebhinnekaan? Tentu ada banyak hal yang dapat dilakukan sesuai talenta yang diberikan Allah pada kita. Jika talenta kita adalah mengajar, maka ajarilah orang-orang yang ada di sekitar kita agar wawasan mereka menjadi luas. Jika talenta kita adalah bermusik, hiburlah orang-orang yang ada di sekitar kita agar mereka menjadi gembira. Kesimpulannya, gunakan apa yang sudah diberikan Allah pada kita untuk menjadi berkat bagi orang lain, apapun agamanya. Dengan demikian, Kasih Allah akan terwujud dalam kebhinnekaan.
Referensi
1. Don Matteo. (2011). Dialog Agama: Dialog Kehidupan. Diterima tanggal 7 Agustus 2017 dari http://www.kompasiana.com/matteo/dialog-agama-dialog-kehidupan_55009e30a33311237051176e
2. Gerung, R. (2013). Mengapa Ada Banyak Agama? Diterima tanggal 10 Agustus 2017 dari http://www.anakbertanya.com/mengapa-ada-banyak-agama/
3. Kompas.com (2013). Paus Fransiskus: Saya Percaya Tuhan, tetapi Bukan Tuhan Katolik. Diterima tanggal 7 Agustus 2017 dari https://app.kompas.com/amp/internasional/read/2013/10/08/2338024/Paus.Fransiskus.Saya.Percaya.Tuhan.tetapi.Bukan.Tuhan.Katolik
4. Lembaga Alkitab Indonesia. (2007). Alkitab Deuterokanonika. Jakarta, Indonesia: Lembaga Alkitab Indonesia
5. Mahaputra, S. (2015). Humor Gus Dur: Siapa Paling Dekat dengan Tuhan? Diterima tanggal 10 Agustus 2017 dari https://m.dream.co.id/orbit/humor-gus-dur-siapa-paling-dekat-dengan-tuhan-150318p.html
6. Wongjomporn, S. (2015). Dialogue in Asia with Ethnic (Traditional) Religions. Dialogue with Religions in Asia and Interreligious Marriage. Pattaya, Thailand: FABC (Federation of Asian Bishop’s Conferences)
Komentar
Posting Komentar